Post Partum Blues & Pendekatan Keagamaan

Kelahiran seorang bayi merupakan hal membahagiakan yang paling ditunggu-tunggu oleh semua pasangan muda. Berbagai persiapan dilakukan guna menyambut kelahiran anak pertama mereka, dari mempersiapkan baju-baju bayi, tempat tidur bayi, mainan-mainan sampai dengan hiasan kamar. Melahirkan anak pertama bagi seorang wanita merupakan sebuah anugerah paling indah yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, karena bayi tersebut merupakan buah cinta dari pernikahan dengan suaminya. Sebagian wanita ada yang menganggap bahwa kelahiran bayi merupakan hal yang tidak menggembirakan, hal ini dikarenakan wanita-wanita tersebut menganggap bahwa kelahiran bayi hanya akan menghambat aktivitasnya sehari-hari serta akan membawa banyak permasalahan baru dalam kehidupan pernikahannya.

Seorang wanita biasanya tidak menganggap sepele kelahiran bayi pertamanya, hal ini dikarenakan dalam situasi seperti ini seorang wanita dituntut menjalani kehidupan yang berbeda yang lebih banyak membutuhkan tanggung jawab daripada sebelumnya. Tuntutan keadaan agar wanita berperan sebagai ibu menjadikannya harus berlaku hati-hati dan selalu penuh tanggung jawab, untuk itulah seorang wanita membutuhkan penyesuaian dalam menghadapi peran dan aktivitas barunya sebagai seorang ibu. Hal ini terjadi pada minggu-minggu pertama atau bulan-bulan pertama setelah seorang wanita melahirkan anaknya. Sebagian wanita berhasil dalam menyesuaikan peran dan aktivitas barunya tersebut, namun sebagian lagi ternyata tidak berhasil menyesuaikan dirinya.

Wanita-wanita yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan peran dan aktivitas barunya tersebut mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala yang oleh para peneliti dan klinisi disebut post partum depression atau depresi pasca melahirkan. Sebuah referensi dalam literatur kedokteran mengenai keadaan ini telah ditulis oleh Savage pada tahun 1875. Savage dalam referensi ini memaparkan mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca melahirkan yang disebut sebagai milk fewer karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Global Burden of Disease, suatu proyek yang disponsori oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa gangguan jiwa depresi menempati urutan keempat sebagai penyebab ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan fungsi kehidupannya sehari-hari, termasuk pada wanita yang mengalami depresi pasca melahirkan.

Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa yang banyak dialami orang antara umur 15-44 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kielholz dan Poldinger pada tahun 1974 terdapat fakta bahwa 10% dari pasien yang berobat pada dokter adalah pasien depresi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Klinik Psikiatri Universitas Basle pada tahun 1977-1978 didapat angka 18%, penelitian di Bavaria oleh Dilling dan kawan-kawan pada tahun 1978 didapat angka 17%. World Health Organization (WHO) pada tahun 1974 memperkirakan prevalensi depresi pada populasi masyarakat dunia adalah 3% (Hawari, 2002, h.56). Kaelber dalam penelitiannya pada tahun 2002 menyatakan bahwa jumlah penduduk wanita yang mengalami depresi adalah antara 10%-15% dan jumlah penduduk pria yang mengalami depresi adalah antara 5%-12% (Hawari, 2002, h.122), sedangkan mengenai depresi pasca melahirkan sendiri, terdapat berbagai studi di luar negeri yang melaporkan angka kejadiann yang cukup tinggi dan bervariasi antara 26%-85% yang kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosa yang digunakan. The National Women’s Health Information Centre (NWHIC) menjelaskan bahwa di Amerika Serikat depresi pada wanita yang baru saja melahirkan dapat terjadi satu atau dua kasus dari 1000 wanita yang melahirkan, sedangkan di Indonesia, satu dari sepuluh wanita yang baru saja melahirkan memiliki kecenderungan mengalami depresi.

Seorang wanita yang pernah mengalami depresi pasca melahirkan memiliki resiko tinggi terkena depresi kembali pada proses selanjutnya. Hal ini didasarkan pada pernyataan yang dikemukakan oleh Perry yang menyebutkan bahwa sepertiga dari perempuan yang pernah mengalami depresi pasca melahirkan, separuhnya mengalami depresi kembali setelah melahirkan bayi berikutnya. Pernyataan Perry ini dipertegas oleh Ann Dunnewold (seorang ahli jiwa di Dallas) yang melakukan penelitian dan hasilnya menyatakan bahwa 10%-20% perempuan yang dulu pernah mengalami depresi pasca melahirkan memiliki kecenderungan mengalami depresi pasca melahirkan kembali pada kelahiran selanjutnya. Hasil penelitian yang dilakukan Anmum Indonesia, menunjukkan bahwa wanita yang pernah mengalami depresi pasca melahirkan, memiliki kecenderungan sebesar 50% mengalami depresi pasca melahirkan kembali pada kelahiran berikutnya.

Wanita yang mengalami depresi pasca melahirkan biasanya menunjukkan gejala-gejala seperti cepat lelah, sulit berkonsentrasi, nafsu makan berkurang, mudah menangis dan putus asa. Gejala-gejala yang ditunjukkan tersebut timbul dalam berbagai derajat, mulai dari ringan hingga berat. Depresi pasca melahirkan oleh para ahli dipahami sebagai sebuah sindroma gangguan ringan yang sering tampak pada minggu-minggu pertama setelah persalinan dan ditandai dengan gejala-gejala seperti reaksi sedih/disforia, menangis, mudah tersinggung (irritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan fungsi makan.

The National Women’s Health Information Centre (NWHIC) menjelaskan bahwa depresi pasca melahirkan merupakan pemikiran yang disebabkan perubahan suatu hormon yang berlangsung setelah kelahiran yang menyebabkan perasaan menjadi meletup-letup, susah tidur, serta stres. Regina dkk (2001, h.302) dalam laporan hasil penelitian menjelaskan bahwa gejala-gejala depresi setelah melahirkan muncul setelah seorang wanita menjalani proses persalinan dan pada umumnya gejala-gejala tersebut akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala-gejala tersebut ada juga yang terus bertahan dan baru akan meenghilang setelah beberapa minggu bahkan bisa sampai beberapa bulan, dan apabila hal tersebut tidak ditanggapi dan tidak ditangani secara serius maka gejala-gejala tersebut dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat.

Depresi pasca melahirkan dapat terjadi disebabkan karena setelah proses melahirkan tubuh seorang wanita sedang mengadakan perubahan fisikal yang besar, termasuk hormon-hormon dalam tubuh yang juga akan mengalami perubahan besar. Gangguan hormonal merupakan salah satu penyebab yang dapat menjelaskan mengapa seorang wanita yang baru saja melahirkan bisa mengalami depresi. Kebutuhan hormon wanita yang seharusnya meningkat saat seorang wanita akan melahirkan tiba-tiba saja menurun saat melahirkan. Hal ini dapat memberikan pengaruh pada depresi biokimia (depresi yang disebabkan karena proses kimia dalam tubuh, seperti bertambah atau berkurangnya hormon), selain itu hormon endhorpine yang berguna untuk memompa rasa senang pada seorang wanita yang baru saja melahirkan juga menurun jumlahnya sehingga menambah resiko depresi pada wanita-wanita yang baru saja melahirkan.

Depresi pasca melahirkan kadang juga disebabkan oleh ketidakstabilan kelenjar tyroid, sama seperti hormon lainnya, kelenjar ini menurun kinerjanya ketika seorang wanita melahirkan dan parahnya kinerja kelenjar ini tidak kembali normal seperti semula (Hadi, 2004, h.72-73). Hal ini diperparah dengan keadaan fisik yang tentunya menjadi lelah setelah proses melahirkan. Semua hal tersebut secara langsung memberikan pengaruh pada peraaan seorang wanita setelah proses melahirkan yang dapat memudahkan wanita tersebut mengalami depresi pasca melahirkan.

Wanita-wanita yang mengalami gangguan depresi pasca melahirkan pada zaman dahulu harus berjuang sendiri dalam memahami dan mengatasi gangguan yang dialaminya. Mereka merasakan ada suatu hal yang salah pada diri mereka, namun mereka sendiri tidak benar-benar mengerti dan tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Ketika mereka berkonsultasi dengan dokter atau dengan sumber-sumber lainnya untuk meminta penjelasan dan pertolongan atas apa yang mereka alami, seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat atau lebih memperbanyak tidur, selain itu juga anjuran untuk menghindari keadaan yang membuat gelisah, rajin minum obat, berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai berfikir positif seta merasa gembira menyambut kedatangan bayi yang telah mereka tunggu dan mereka cintai.

Gangguan depresi pasca melahirkan baru mendapatkan perhatian pada sekitar tahun 1960-an setelah Pitt mendeskripsikan adanya suatu bentuk depresi atipikal yang mempengaruhi ibu setelah anak lahir. Banyak peneliti dan klinisi yang memberi perhatian khusus pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita setelah proses melahirkan ini dalam sepuluh tahun terakhir, selain itu para peneliti juga melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga mempunyai kaitan dengan gejala-gejala tersebut. Banyaknya penelitian dan publikasi hasil penelitian mengenai depresi yang dialami oleh wanita-wanita setelah proses melahirkan saat ini, berdampak positif dengan banyaknya kasus-kasus depresi pasca melahirkan pada wanita yang teratasi dengan baik, bahkan banyak sekali informasi-informasi yang disebarkan melalui media massa baik televisi, koran maupun internet (terutama melalui mailing list dan blog) mengenai gangguan ini yang notabene bertujuan untuk memberikan informasi kepada para wanita agar mereka dapat menghindari resiko terjadinya gangguan ini.

Berbagai macam pendekatan diberikan guna menangani gangguan depresi pasca melahirkan ini. Pendekatan agama dianggap sebagai salah satu pendekatan alternatif karena saat seorang wanita mengalami gangguan depresi pasca melahirkan, seoarang wanita akan membutuhkan hal-hal yang bersifat spiritual. Pemenuhan kebutuhan spiritual dan juga dorongan dari keluarga serta teman akan sangat membantu seorang wanita dalam menghadapi depresi pasca melahirkan yang dialaminya. Pendekatan agama dalam hal ini bukan untuk mengubah keimanan penderita gangguan depresi pasca melahirkan, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual/kerohaniannya dalam menghadapi penderitaan akibat depresi yang dialaminya. Griffith dan Griffith menyatakan bahwa pendekatan agama pada seoang wanita yang mengalami depresi pasca melahirkan besar manfaatnya. Pendapat tersebut senada dengan Larson yang menyatakan bahwa komitmen agama memiliki manfaat bagi upaya pencegahan depresi termasuk depresi pasca melahirkan (Hawari, 2002, h.122-123).

Pendekatan agama ternyata dapat juga dijadikan sebagai kekuatan pelindung dan penyangga bagi seseorang dalam menghadapi tantangan dan cobaan dalam hidupnya, sehingga akan kecil sekali memiliki resiko terkena depresi khususnya pada wanita yang baru saja melawati proses melahirkan. Studi epidemologik yang dilakukan oleh Lindenthal pada tahun 1970 dan Star pada tahun 1971 (Hawari, 2002, h.116) menunjukkan bahwa mereka yang religiusitasnya tinggi (rajin mengerjakan ibadah, rajin berdoa dan rajin berdzikir) memiliki resiko yang lebih kecil mengalami stres, cemas dan depresi daripada mereka yang dalam kehidupan sehari-harinya memiliki religiusitas yang rendah, begitu juga dalam hal kemampuan mengatasi penderitaan dan penyembuhan, ternyata mereka yang memiliki religiusitas tinggi lebih mampu mengatasi penderitaannya sehingga proses penyembuhan penyakitnya (ability scope) lebih cepat. Harsono (2004, h.62) dalam laporan hasil penelitiannya menyatakan bahwa orang yang memiliki religiusitas tinggi serta kepercayaan diri yang tinggi maka orang tersebut memiliki kecenderungan mengalami depresi yang rendah, hal ini dikarenakan orang tersebut selalu optimis dan memiliki panduan dalam menghadapi tantangan hidupnya.

Seorang wanita yang mengalami depresi pasca melahirkan sebaiknya tidak hanya dianjurkan menggunakan obat-obatan penenang, anti cemas atau anti depresi saja dalam penyembuhan penyakitnya ini. Masih banyak jenis terapi penyembuh lain yang bisa dijadikan alternatif penyembuhan dalam menyembuhkan penyakitnya ini, salah satunya yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dengan senantiasa beribadah, berdoa dan berdzikir guna mengingat Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28, yang artinya :

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. 13:28)

Ayat ini menerangkan bahwa dengan senantiasa beribadah, berdoa dan berdzikir mengingat Allah SWT, manusia akan merasakan sebuah perasaan yang tenang dan tenteram, dimana perasaan tenang dan tenteram dapat membuat hidup seorang manusia menjadi lebih baik, begitu juga dengan seorang wanita yang mengalami depresi pasca melahirkan, apabila senantiasa mengingat Allah maka hatinya akan berangsur-angsur menjadi tenang sehingga dapat mengatasi gangguan yang dideritanya, selain itu juga akan dapat menjalani peran dan aktivitas barunya tanpa ada kecemasan-kecemasan maupun perasaan bersalah dan dapat menerima kelahiran bayinya dengan perasaan yang gembira sehingga mampu untuk merawat bayi yang telah dinanti-nanti keadirannya tersebut.(Fajri)

2 komentar:

its nice artikel for me


wah cocok banget neh artikel buat ibu hamil anak pertama kayak diriku....thenk yah....soalnya emang ngerasa banget perjuangan untuk hamil berat benget bo..secara terapi infertilitas selama 2 tahun sangat melelahkan...jadi tetep di posting yah artikelnya supaya aku gak cape-cape browsing he...he...

28 April 2008 pukul 22.19  

bertanya," Ada tidak bentuk layanan khusus yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada penderita PPD? Ada kemungkinan tidak, seorang penderita PPD mengenal penderita PPD lain dalam satu RS?
mungkin tidak, saya bisa memperoleh data penderita PPD di RS tertentu di Semarang?
saya sedang membutuhkan informasi tersebut untuk kebutuhan skripsi saya.

terimakasih..

5 Desember 2009 pukul 18.51  

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds